.
BOOK review
Started on: 12 March 2023
Finished on: 13 March 2023
Finished on: 13 March 2023
Title: Lebih Senyap dari Bisikan
Author: Andina Dwifatma
Publisher: Gramedia Pustaka Utama
Publisher: Gramedia Pustaka Utama
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Barangkali inilah mengapa aku merasa perjuangan hamil sebagai saat-saat paling sepi dalam hidupku. Rasanya aku sendirian mengejar sesuatu yang tidak pasti."
Setelah menikah selama delapan tahun, Amara dan Baron tidak kunjung dikaruniai seorang anak, yang membuat mereka senantiasa dikepung dengan pertanyaan mengapa mereka belum memiliki momongan. Selama tiga tahun terakhir, usaha keduanya untuk mempunyai bayi menjadi begitu ekstrem. Namun, saat Amara akhirnya dinyatakan positif hamil, persoalan dalam pernikahan mereka tidak usai begitu saja. Konflik demi konflik perlahan hadir di antara keduanya, membuat pernikahan mereka diuji sedemikian rupa sejak kehadiran anak yang selama ini mereka dambakan.
"Fakta bahwa kami berdua sehat tapi aku tidak kunjung hamil membuatku merasa kurang beruntung. Sperma yang malas berenang dan telur yang tidak matang bisa diobati, tapi nasib buruk tidak bisa diapa-apakan."
Buku ini sebenarnya sudah menarik perhatianku sejak awal diterbitkan tahun 2021 karena banyak yang memberikan review positif setelah membacanya. Setelah menunda beberapa tahun, akhirnya aku berhasil juga menamatkan buku ini dan memuaskan rasa penasaranku. Tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikan novel ini karena bukunya cukup tipis dan gaya penulisannya pun mudah untuk dinikmati. Berdasarkan sinopsis bukunya, aku kira ceritanya hanya akan terfokus pada permasalahan tentang memiliki anak. Namun ternyata penulis membawa pembaca mengeksplorasi lebih banyak konflik yang bisa muncul dalam sebuah pernikahan yang tidak akan secara ajaib terselesaikan dengan hanya mempunyai seorang anak. Meskipun aku tidak begitu menyukai kisahnya yang menurutku terlalu suram dari awal hingga akhir, tidak bisa kupungkiri bahwa penulis berhasil membuatku tidak mau berhenti membaca karena penasaran dengan akhir ceritanya.
"Karena itukah aku ingin punya anak? Agar aku bisa bilang bahwa aku sudah menjalankan peran utamaku sebagai perempuan? Agar aku bisa menggenapkan tugas tubuhku yang dirancang untuk melanjutkan kehidupan? Agar aku bisa pergi ke acara keluarga atau reunian tanpa merasa tersakiti lantaran terus-terusan ditanya 'kapan?', 'kapan?'"
"Ada hal yang tidak diberitahukan orang kepadamu tentang menjadi orangtua: kau akan merasakan kegembiraan luar biasa, rasa cinta yang tidak dapat dibandingkan dengan apa pun juga, tapi pada saat yang sama, dirimu menjadi rentan. Seluruh eksistensimu bukan lagi milikmu sendiri. Ukuran kebahagiaanmu tiba-tiba berubah."
Kisah ini ditulis dari sudut pandang pertama karakter utamanya, Amara, yang sudah delapan tahun menikah dengan Baron. Tidak banyak yang pembaca ketahui tentang keduanya selain fakta bahwa mereka sedang berusaha keras untuk bisa segera memiliki momongan. Seiring berjalannya cerita, Amara menyelipkan memori pertemuan pertamanya dengan Baron, bagaimana mereka akhirnya mulai berpacaran, hingga hubungan mereka yang ditentang oleh ibu Amara. Setelah melihat lebih dalam hubungan antara Amara dan Baron lewat memori-memori tersebut, aku merasa sebetulnya sudah banyak red flags yang menunjukkan bahwa sudah ada banyak masalah yang tidak terselesaikan sejak mereka masih berpacaran. Bibit perselisihan di antara mereka yang dibiarkan menggantung tanpa diselesaikan akhirnya berbuah menjadi permasalahan yang lebih besar di kemudian hari. Aku tidak akan menceritakan dengan detail supaya menghindari spoiler, tapi yang jelas pernikahan Amara dan Baron membuatku menyadari betapa pentingnya untuk memiliki hubungan yang sehat dan memegang prinsip hidup yang sama bahkan sejak masih berpacaran.
Salah satu topik yang paling disorot oleh pembaca lain tentang buku ini adalah tekanan sosial perkara memiliki anak setelah menikah—dan bagaimana tekanan itu lebih banyak dibebankan kepada pihak wanita. Aku rasa ini adalah permasalahan klasik yang sudah dialami oleh banyak wanita, padahal kenyataannya masalah tidak begitu saja hilang dengan punya anak karena menjadi orangtua juga punya tantangannya sendiri. Penulis menjabarkan realita tersebut melalui kehidupan Amara dengan lugas, membuka mata pembaca terhadap fakta bahwa mempunyai anak merupakan sebuah tanggung jawab yang besar. Tidak berhenti sampai di sana, Amara dan Baron juga harus melalui cobaan secara finansial, permasalahan yang umum bagi orang dewasa namun bisa menghancurkan dalam sebuah pernikahan. Aku merasakan pentingnya komunikasi yang baik antara suami dan istri dan adanya kesepakatan saat mengambil keputusan lewat konflik ini. Membaca buku ini benar-benar mengingatkanku akan hal-hal esensial yang dibutuhkan untuk membina rumah tangga yang dapat bertahan melalui berbagai macam badai kehidupan.
"Mungkin kali ini juga begitu. Mungkin suamiku hanya perlu waktu untuk menenangkan diri. Dia akan kembali, membawa solusi, dan keluarga kami akan kembali berbahagia."
Jika sedang ingin mencari bacaan yang membuat kita lupa sejenak dengan kenyataan hidup yang terkadang pahit, buku ini sepertinya bukan pilihan yang tepat 😆. Novel ini juga secara spesifik ditujukan untuk pembaca dengan usia 21 tahun ke atas karena adanya detail cerita yang mungkin belum saatnya dikonsumsi oleh pembaca yang lebih muda. Bagi yang tertarik untuk membaca buku ini, perlu diketahui bahwa keseluruhan ceritanya bernuansa suram dari awal hingga akhir karena pembaca diajak mengikuti Amara dan Baron melalui konflik demi konflik yang menimpa rumah tangga mereka. Sewaktu membaca, penulis berhasil membuatku ikut merasakan keterpurukan Amara yang berpikir seolah tidak ada lagi harapan ataupun jalan keluar bagi keluarganya. Meski demikian, aku cukup puas dengan adanya secercah harapan pada akhir cerita yang membuatku bisa menutup buku ini dengan perasaan tenang. Semoga buku ini tidak membuat orang jadi takut untuk menikah maupun mempunyai anak karena walaupun memang ada banyak tantangan, aku yakin fase hidup tersebut juga menyuguhkan kebahagiaan tersendiri selama dijalani dengan orang yang tepat 😊.
"Kusebut nama Yuki perlahan, begitu pelan, lebih senyap dari bisikan... Dia layak mendapatkan hidup yang lebih baik, hidup yang mungkin tidak akan pernah bisa kupersembahkan untuknya."
No comments:
Post a Comment