BOOK review
Started on: 6 February 2018
Finished on: 9 February 2018
Finished on: 9 February 2018
Judul Buku : Ubur-Ubur Lembur
Penulis : Raditya Dika
Penerbit : GagasMedia
Tebal : 240 Halaman
Tahun Terbit: 2018
Tahun Terbit: 2018
Harga: Rp 66,000 (http://gagasmedia.net/)
Rating: 4/5
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Instagram juga membuktikan bahwa sebagian masyarakat Indonesia itu munafik. Ini karena kebanyakan orang Indonesia punya dua akun Instagram. Akun yang pertama untuk pencitraan, untuk memperlihatkan betapa kerennya hidup dia. Akun yang kedua untuk jadi diri dia yang sebenarnya. Isinya gosipin orang, atau menggunakan akun itu untuk ngatain orang yang dia nggak suka."Seperti buku-buku Raditya Dika yang sebelumnya, Ubur-Ubur Lembur juga adalah kumpulan cerita pendek yang berisi kisah pengalaman hidup penulisnya. Mengawali buku ini, Raditya Dika menulis bahwa salah satu hal yang memotivasinya untuk menulis adalah karena ia merasa apa yang ditulisnya merupakan sesuatu yang penting—yang harus dibaca oleh orang banyak. Melalui 14 cerita pendek yang ada dalam buku ini, Raditya Dika membagikan berbagai macam kegelisahan yang pernah dilaluinya dan apa yang ia dapatkan melalui pengalaman-pengalaman tersebut. Dalam review ini, aku akan membagikan beberapa cerita yang paling berkesan untukku :)
"Bikin, mah, bikin aja. Nggak usah takut apa kata orang. Jelek bisa jadi bagus. Kalau nggak pernah bikin apa-apa, nggak ada yang bisa dibagusin."Cerita pertama yang aku rasa sangat relatable adalah kisah yang diberi judul Curhatan Soal Instagram Zaman Now. Raditya Dika menyatakan bahwa Instagram sudah bukan lagi hanya sekadar media sosial untuk sharing, melainkan untuk pamer. Memamerkan kegiatan mereka saat sedang makan di tempat yang mahal, memamerkan destinasi liburan, dan lain sebagainya. Media sosial tersebut juga menjadi sarana untuk mengomentari kehidupan orang lain. Terlepas dari itu semua, Raditya Dika tetap menggunakan Instagram. Aku rasa semuanya bergantung kepada pengguna media sosial itu sendiri. Instagram maupun media sosial yang lain bisa digunakan untuk memberikan pengaruh yang negatif; tetapi sebenarnya jika dipikir-pikir, hal yang sama dapat digunakan untuk memberikan dampak yang sebaliknya.
"Jadi orang yang dikenal publik harus tahan dengan asumsi-asumsi orang. Misalnya, orang-orang penuh dengan asumsi yang salah. Gue kurusan dikit, dikomentarin orang yang baru ketemu, 'Bang Radit, kurusan, deh. Buat film baru, ya?' Gue geleng, 'Enggak.' Gue bilang, 'Emang lagi diet aja.' Dia malah balas bilang, 'Ah, bohong. Paling abis putus cinta, kan?'"
image source: here. edited by me. |
Percakapan Dengan Seorang Anak yang Ingin Jadi Artis juga adalah salah satu cerita yang menarik bagiku. Melalui kisah ini, Raditya Dika merenungkan tentang obsesi orang Indonesia terhadap artis. Pengalaman yang ia ceritakan adalah pertemuannya dengan seorang anak SMP yang bertanya padanya bagaimana caranya menjadi seorang artis. Anak tersebut punya bayangan bahwa menjadi seorang artis sama dengan memiliki kehidupan yang 'enak'. Saat itu, Raditya Dika tidak sempat membagikan hal-hal negatif yang datang bersamaan dengan popularitas. Media lebih banyak menyorot kehidupan artis yang nyaman dan terkesan menyenangkan—tanpa mengungkap hal-hal yang tersembunyi di balik itu semua. Raditya Dika pun juga menceritakan perjalanannya menuju popularitas yang ia lalui sedikit demi sedikit—sehingga ia tidak pernah merasa dirinya adalah seorang artis. Dan meskipun dengan segala popularitas yang dimilikinya saat ini, ia memilih untuk tidak banyak berubah dan tetap menjadi dirinya sendiri apa adanya.
"Intinya ini: semua hal yang kita tonton adalah bentuk lebih bahagia dari dunia nyata. Termasuk menjadi seorang artis."
"Jangan-jangan, kita, orang Indonesia, emang senang saja ngelihat orang lain susah. Berita yang paling cepat trending adalah tentang perceraian, berita tentang artis anu lagi kena masalah. Artis anu lagi kena tipu, pasti langsung ramai diberitakan di mana-mana, dan kita menikmati melihat kehidupan orang lain lebih memprihatinkan dari kita."Isu yang dibahas Raditya Dika dalam ceritanya dengan judul Korban Tak Sampai juga membuatku berpikir. Salah satu pembahasannya adalah tentang orang-orang yang suka jadi hakim sendiri; terutama terhadap apa yang mereka melihat di media. Selain itu aku merasa ada kebenaran dari pernyataan Raditya Dika yang aku kutip di atas, bahwa berita yang paling cepat marak di masyarakat adalah berita yang negatif. Menurutku, hal tersebut semakin diperparah dengan fakta bahwa menyebarkan berita buruk zaman sekarang sangatlah mudah untuk dilakukan—tinggal copy paste dan kirimkan pada orang atau group yang kita mau. Belakangan ini aku berusaha untuk tidak terlalu mudah mengomentari atau menghakimi berita-berita yang beredar, tetapi pada kenyataannya hal tersebut sangat susah untuk dilakukan. Yang aku selalu berusaha lakukan adalah mengingatkan diriku sendiri bahwa melalui berita, aku hanya tahu sebagian dari fakta yang ada—bukan seluruhnya. Dengan demikian, setidaknya kecenderunganku untuk main hakim sendiri jadi lebih berkurang.
"Gue melihat orang yang bekerja kantoran tapi nggak sesuai dengan minat mereka itu seperti seekor ubur-ubur lembur. Lemah, lunglai, hanya hidup mengikuti arus. Lembur sampai malam, tapi nggak bahagia. Nggak menemukan sesuatu yang membuat hidup mereka punya arti. Gue nggak mau jadi ubur-ubur lembur; gue mau punya tulang belakang. Gue mau bisa berjalan di antara kedua kaki. Gue percaya kalau kita hidup dari apa yang kita cintai, maka kita akan mencintai hidup kita."Masih ada banyak cerita-cerita yang lain dalam buku ini; dan mungkin cerita yang berkesan bagi setiap pembaca akan berbeda-beda. Seperti buku-buku Raditya Dika sebelumnya, ada juga beberapa kisah tentang pengalaman patah hati. Tetapi untukku, tiga cerita di atas mengangkat isu atau tema yang lebih meninggalkan bekas dalam pikiranku. Selama aku sakit beberapa waktu yang lalu, Ubur-Ubur Lembur berhasil menjadi hiburan yang menyenangkan saat aku terbaring di tempat tidur. Penulisannya tetap ringan dan mudah dibaca; tidak butuh waktu yang lama untuk menyelesaikannya. Walaupun menurutku sudah tidak banyak bagian yang membuatku tertawa sampai terbahak seperti buku-buku awal Raditya Dika, aku suka dengan tema / isu relevan yang dibahas dalam buku ini. Looking forward to his future works!
Pertama kali baca buku bang Radit yang Koala Kumal. Sukak!
ReplyDelete(Dulu pas baca Kambing Jantan soalnya kurang sreg hehee)
Makanya penasaran sama Ubur-Ubur Lembur, tapi belum kesampaian sampe sekarang buat beli dan baca bukunya :')
Ayooo baca jugaa ;D
Delete