.
BOOK review
Started on: 27 December 2024
Finished on: 8 January 2025
Finished on: 8 January 2025
Title: Timun Jelita
Author: Raditya Dika
Publisher: GagasMedia
Publisher: GagasMedia
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Dulu, waktu sekolah dia memang suka bermusik. Tapi hidup terkadang terlalu tega untuk mimpi-mimpi kita. Realitas membuat kita harus mengerti, kapan mimpi lama harus dihentikan karena nasib memaksa untuk berjalan ke arah yang lain."
Setelah ayahnya meninggal, Timun—seorang akuntan berusia 40 tahun, mendapatkan warisan gitar tua yang membangkitkan kembali hasratnya untuk bermusik. Di usianya yang tidak lagi muda, cukup sulit bagi Timun untuk menemukan teman seusianya yang mau bergabung dengannya. Saat itulah muncul Jelita, sepupunya yang masih kuliah dan memiliki hasrat bermusik yang sama. Dengan kemampuan yang dimiliki, mereka berdua membentuk duo musik dengan nama Timun Jelita—dan inilah kisah perjalanan mereka.
"Bermusik masih terasa asyik, membuka diri juga tidak ada salahnya."
"Timun mengerti bahwa ini adalah kesempatan untuk melakukan sesuatu yang berbeda dari biasanya. Paling tidak, demi istrinya."
Sebagai penggemar tulisan Raditya Dika sejak buku pertamanya, tidak perlu pikir panjang sebelum aku memesan buku ini sewaktu penerbitannya diumumkan. Selama ini, buku-buku Raditya Dika selalu menghiburku dan membuatku tertawa puas. Oleh karena itu, tentu saja aku memiliki ekspektasi yang sama terhadap buku ini meskipun ini adalah novel pertama Raditya Dika. Entah karena ekspektasi yang terlalu tinggi atau alasan yang lain, aku tidak begitu puas dengan ceritanya. Walaupun ada beberapa adegan absurd dalam buku ini yang berhasil membuatku terkekeh, aku merasa alur ceritanya terlalu sederhana untuk seleraku.
"Setiap orang punya momen putar balik, di mana prinsipnya soal hidup akan berubah selamanya setelah sebuah kejadian besar."
"Bukannya kalau kita tulus, jadi diri sendiri, malah orang tertarik sama kita?"
Ditulis dari sudut pandang ketiga, buku ini diawali dengan memperkenalkan karakter utamanya dengan nama paling absurd yang pernah aku tahu—Timun. Rasanya sulit sekali membayangkan seorang akuntan berusia 40 tahun dengan nama Timun dan menanggapinya dengan serius 😂. Sewaktu mendapatkan warisan gitar dari ayahnya yang baru saja meninggal, Timun diingatkan kembali pada hobinya bermain musik dulu. Didukung oleh istrinya, Putri, Timun memulai perjalanannya mencari teman untuk membentuk sebuah band bersama. Tak disangka, yang berakhir menjadi rekannya adalah sepupunya, Jelita—seorang mahasiswi yang juga hobi bermusik. Dengan bantuan Robert—mahasiswa bisnis yang menawarkan diri untuk menjadi manager band, Timun dan Jelita akhirnya membentuk duo musik dan berusaha keras untuk mencapai impian mereka.
Alur cerita buku ini cukup sederhana tanpa konflik yang terlalu serius, tapi aku cukup menyukai pesan moral yang disampaikan lewat pengalaman karakter-karakternya. Salah satunya adalah momen ketika Timun berusaha keras untuk mengubah penampilannya demi menjadi relevan dengan kalangan yang lebih muda. Istrinya kemudian mengingatkan bahwa ketika seseorang tulus dan menjadi diri mereka sendiri, orang yang tepat akan tertarik dengan sendirinya. Aku sendiri juga mempercayai pentingnya menjadi orang yang tulus, sehingga bagian itu cukup berkesan untukku. Selain itu, aku juga suka dengan transformasi karakter Jelita yang awalnya pahit terhadap mantan anggota band-nya yang dulu, hingga akhirnya ia bisa berdamai dengan masa lalu. Aku juga suka mendengarkan lagu-lagu yang ditulis oleh Raditya Dika sewaktu membaca buku ini—terutama untuk adegan ketika Timun dan Jelita sedang manggung menyanyikan lagu mereka. Lagu-lagunya berhasil membuat cerita ini terasa nyata.
"Kadang kalau kita terlalu senang dengan apa yang kita dapat, kita lupa untuk melihat semuanya dengan lebih objektif."
Secara keseluruhan, meskipun buku ini bukanlah karya favoritku dari Raditya Dika, aku masih cukup menikmatinya dari awal sampai akhir. Aku mungkin mengkategorikan buku ini sebagai bacaan ringan dengan genre slice of life yang menggambarkan lika-liku perjalanan seorang musisi. Dimulai dari susahnya mencari inspirasi, perjuangan agar karyanya bisa dikenal, dan lain sebagainya. Untungnya, penulis tidak memberikan ending yang kesannya too good to be true. Aku cukup puas dengan akhir cerita yang realistis tapi juga penuh dengan harapan untuk masa depan yang lebih baik. Walaupun ekspektasiku tidak terpenuhi oleh buku ini, aku akan tetap selalu menantikan karya Raditya Dika yang selanjutnya 😊.
"Air mata itu bukan air mata sedih, kecewa, atau sakit hati, seperti yang dia rasakan selama ini. Air mata barusan adalah ungkapan rasa leganya. Seperti ada yang lepas dari dadanya, yang selama ini terasa berat."
No comments:
Post a Comment