Saturday, September 17, 2022

Book Review: Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam by Dian Purnomo

.
BOOK review
Started on: 26 August 2022
Finished on: 31 August 2022
 
 
Title: Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam
Author: Dian Purnomo
Publisher: Gramedia Pustaka Utama
Pages: 319 pages
Year of Publication: 2020
Price: Rp 69,750 (https://www.gramedia.com/)

Rating: 4/5
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Magi tak tahu dosa apa yang dimilikinya sampai harus menjalani semua ini. Namun, dia tidak mau menyerah sebelum berjuang hingga titik darah penghabisan."
Di tengah perjalanannya melakukan pekerjaan, Magi Diela tiba-tiba diculik oleh sekelempok orang suruhan Leba Ali yang ingin mengawininya. Magi memiliki impian yang besar untuk membangun Sumba, namun sejak kejadian penangkapan secara paksa itu, kini ia harus berjuang melawan orangtuanya, seisi kampung, dan bahkan melawan adat yang merenggut kemerdekaannya sebagai seorang perempuan. Ketika budaya memenjarakan hati Magi, ia harus mengambil keputusan yang sulit: pergi meninggalkan orangtua dan tanah kelahirannya, menyerahkan diri kepada si mata keranjang, atau mencurangi kematiannya sendiri.

"Kematian adalah kepastian, ada yang membiarkan kedatangannya menjadi misteri, ada yang menjemputnya dengan paksa....
Sayangnya, kematian tidak semudah itu dicurangi." 
Sebenarnya sudah cukup lama aku ingin membaca buku ini, sejak aku membaca review dari berbagai orang yang hampir semuanya positif. Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam ditulis berdasarkan banyak perempuan yang menjadi korban kawin tangkap di Sumba. Ini adalah kali pertama aku mengetahui tentang adanya budaya ini dan sama sekali tidak menyangka bahwa masih ada yang menjadi korban kawin tangkap hingga hari ini. Dari sinopsis buku ini, aku sudah menyangka bahwa tidak akan mudah untuk membaca kisah ini—terutama dengan adanya tulisan trigger warning di bagian sampul depan. Benar saja, aura cerita ini sangat kelam dari awal hingga akhir. Penulis benar-benar berhasil membuatku tenggelam dalam kisah Magi Diela yang sungguh menyayat hati.
"Kata malam mengingatkannya akan dua malam yang pernah dilaluinya di rumah ini. Dia akan mengulangi kepedihan yang sama, tetapi dengan akhir yang berbeda. Karena Magi sudah bersumpah, dia akan menjadi orang terakhir yang tertawa penuh kemenangan."
Ditulis dari sudut pandang orang ketiga, cerita ini berlatarkan kota Waikabubak, Sumba Barat. Sejak halaman pertama, pembaca langsung dibuat tegang dengan usaha karakter utamanya, Magi Diela, untuk mengakhiri hidupnya. Di bab selanjutnya, barulah penulis menjelaskan kronologi kejadian yang membuat Magi melakukan tindakan yang mengerikan tersebut. Di kota tempat Magi tinggal, tradisi yappa mawine atau kawin tangkap masih sering dilakukan—namun ia tidak pernah menyangka bahwa ia akan menjadi salah satu korbannya. Sejak saat itulah perjuangan Magi dimulai untuk memperoleh kembali kebebasan yang tiba-tiba direnggut dari dirinya. Demi mencapai tujuan tersebut, Magi terpaksa memberontak dan pergi meninggalkan orangtua serta tanah kelahirannya, merancang rencana agar ia bisa membalas perbuatan Leba Ali, pria mata keranjang yang menculik serta melecehkannya. Alur ceritanya berjalan dengan cepat dan berhasil membuatku penasaran apa yang direncanakan oleh Magi. Meskipun sebagian besar kisah ini terasa suram, aku bersyukur penulis memberikan pembaca akhir yang memuaskan—walau Magi harus melakukan pengorbanan yang besar untuk itu.

Salah satu hal yang membuat pengalaman membaca buku ini jauh lebih menarik adalah dialognya yang menggunakan gaya bahasa Sumba. Tidak perlu khawatir karena penulis menjelaskan arti dan penggunaan setiap kata di bagian footnote, dan seiring berjalannya cerita aku semakin terbiasa dengan penggunaan kata "sa", "su", "pung", dan lain sebagainya. Cara penulisan ini benar-benar menghidupkan karakternya dan membuatku merasa seolah sedang berada di Sumba bersama dengan mereka. Selain itu, kisah Magi Diela ini juga mengajukan pemikiran bahwa tidak semua budaya yang sudah ada sejak turun temurun harus dipertahankan ke generasi berikutnya. Sosok orangtua Magi dalam buku ini mungkin bisa terkesan jahat atau tidak peduli; padahal sesungguhnya mereka adalah orang yang menjunjung tinggi adat dan kehormatan—sehingga akhirnya mengesampingkan perasaan anak mereka sendiri. Dalam kisah ini, Leba Ali juga menggunakan budaya kawin tangkap ini sebagai alasan untuk membenarkan tindakannya yang penuh dengan kekerasan. Hal tersebut sungguh membuatku tidak habis pikir dengan eksistensi budaya kawin tangkap yang masih ada hingga hari ini.
"Di salah satu mata kuliah yang dipelajarinya tentang budaya, dia diajarkan bahwa ada budaya yang memang baik untuk dipertahankan, tetapi ada banyak sekali budaya di Indonesia yang bahkan harus dihapuskan karena merugikan pihak-pihak tertentu."
Buku ini penuh dengan gejolak emosi dari awal hingga akhir. Sepanjang membaca, banyak perasaan tidak nyaman karena adanya adegan percobaan bunuh diri, pemerkosaan, hingga pelecehan seksual dalam ceritanya. Istilah 'bulan hitam' menurutku cocok untuk menggambarkan cerita Magi Diela yang kelam dan penuh dengan kesuraman. Aku rasa butuh suasana hati yang tepat untuk siap membaca buku ini karena topik yang diangkat cukup berat. Secara keseluruhan, aku salut terhadap penulis yang tergerak untuk menuliskan novel berdasarkan budaya kawin tangkap—membuka mata orang banyak tentang adanya adat yang merampas hak perempuan ini. Aku juga salut kepada karakter Magi, yang mencerminkan sosok wanita kuat dan tidak mudah menyerah meski banyak cobaan yang menimpa hidupnya. Aku rasa aku akan mengingat karakter Magi untuk waktu yang cukup lama :)

by.stefaniesugia♥ .
 

No comments:

Post a Comment