Sebagai bagian dari rangkaian blog tour buku Berlabuh di Lindøya, kali ini aku akan membagikan sebuah tanya jawab yang aku lakukan dengan penulisnya, Kusumastuti Fischer. Tanya jawab ini akan berkaitan dengan proses penulisan dan behind the scene buku Berlabuh di Lindøya. Jadi bagi kalian yang penasaran dengan proses yang dilalui oleh penulisnya atau ingin mendapatkan tips-tips menulis, silahkan terus membaca artikel ini :) Tentunya, aku juga ingin berterimakasih pada Kusumastuti Fischer yang sudah meluangkan waktunya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Sebagai pembukaan, Kusumastuti Fischer akan memberikan sedikit perkenalan diri pada pembaca :)
Hai halo semua, nama saya Kusumastuti, biasa dipanggil Uti (dari tiga huruf terakhir). Saya senang menulis sejak kecil. Diawali dari menulis surat ke keluarga, teman, sahabat pena di luar negeri (waktu itu Kantor Pos Indonesia masih mengeluarkan daftar pen friends). Ketika saya berusia sepuluh tahun, puisi saya diterbitkan majalah anak Kawanku. Sejak itu saya makin rajin menulis di majalah anak Si Kuncung, Bobo, Ananda (hahaha ketahuan deh umurnya).
Saya berhenti menulis ketika mulai sibuk membangun pabrik baja. Ya, saya bukan anak sastra melainkan sarjana teknik mesin. Karenanya saya malah senang kalau ada yang mengomentari karya saya, jadi saya bisa belajar menulis lebih baik lagi.
Ketika saya bekerja di Austria, sejak 1996, saya menggunakan akhir pekan untuk gentayangan menjelajahi Eropa. Mumpung di Eropa, mumpung kereta dan bus di sana aman buat travel sendirian dan mumpung masih single. Kapan lagi. Hasil jalan2nya saya tulis di email dan dapat feedback kalau tulisan saya menarik. Lama2 saya berpikir, kenapa tidak dicoba diterbitkan saja hasilnya (jaman itu belum musim blog), lalu mulai deh menulis untuk majalah.
Karena awalnya otak saya masih terlalu mesin, karya2 saya waktu itu lebih berupa artikel non fiksi. Lalu saya belajar merajut fiksi dan non fiksi sehingga karya2 saya jadi makin beragam. Sekarang sudah ratusan artikel saya yang diterbitkan penerbit dalam dan luar negeri (dapat dilihat di: http://utiauthor.weebly.com/articles.html) dan sudah enam belas buku yang saya terbitkan (dapat dilihat di : http://utiauthor.weebly.com/books.html).
Proses risetnya 4-5 bulanan, proses ngetik 3 bulan. Halangannya karena tema yang diangkat masih dianggap tabu.Bagaimana cara membangun setting cerita agar pembaca dapat membayangkan semuanya dengan baik dalam imajinasi mereka?
Perhatikan detail dan perlancar deskripsi. Ini hasil latihan yang saya ambil ketika saya masih sering travel dan menulis "laporan perjalanan" ke teman-teman via e-mail. Seperti semua buku saya yang mengambil lokasi / sejarah / kejadian yang benar terjadi saya biasanya memfokuskan diri ke detail-detail yang tidak biasa.
Lengkapnya saya pernah menulis tipsnya di sini:
https://www.facebook.com/notes/kusumastuti/mengubah-libur-menjadi-novel/10153476144179083
Karena pernah ke sana dan melihat ada dua rumah di sana, satu kuning dan satu biru. Lalu mulai berpikir, apakah penghuni rumah itu saling bermusuhan, atau berkawan baik, atau bagaimana ya?
Terus melihat pom bensin, haha terus terang saya baru pertama kali melihat pom bensin buat kapal bukan buat mobil. Lalu melihat detail-detail pulau itu, dan mulai deh membayangkan, bagaimana hidup di sana? Dibilang terkucil dari dunia luar juga tidak (ada feri), dibilang ibu kota juga tidak (walau pulau-pulau itu letaknya di Oslo).
Riset budaya dan cerita-cerita tradisional. Baju tradisional dan makanan karena melihat dan makan sendiri jadi tak perlu riset. Jadwal feri dan peta mengambil dari sumbernya langsung (standard eropa, pasti ada di setiap supermarket), sejarah Norwegia (semua lokasi yang berhubungan di cerita ini), riset pembuatan opera di sana, riset organisasi sosial keluarga raja dan banyak lagi. (termasuk riset lagu-lagu yang muncul semua di novel ini – ayo siapa yang mau bikin playlistnya?)
Tentang pekerjaan Rasmus di Gedung Opera, apakah penulis pernah mengunjungi tempat tersebut?
Pernah, termasuk mendaki ke atas "Iceberg". Namun tentang pekerjaan di gedung opera, ini harus riset. Saya kurang lebih tahu bagaimana, karena opera di Austria adalah hal yang teramat biasa, dan kenal banyak serba serbinya, tapi tetap harus riset karena cerita2 yang diangkat di Norwegia biasanya beda.
Perempuan bisa tegar apa pun masalah kita. Semua orang bisa jatuh, tapi yang penting bagaimana kita bisa bangkit lagi.Berapa buku yang sudah pernah ditulis sebelumnya?
Terutama untuk hal-hal yang tabu seperti tema novel ini (maaf ngga mau spoiler). Biasanya di Indonesia yang jadi korban malah jadi korban dua kali dari lingkungannya. Harusnya ada pemberdayaan perempuan yang mampu mengubah stigma ini.
Berlabuh di Lindøya adalah buku saya yang ke 15 (urutan terbit). Sebenarnya ditulis SEBELUM "Denting Lara", namun terbit belakangan. Jadinya yang ke Frankfurt Book Fair adalah "Denting Lara" versi Jerman. (dengan Blue Vino versi Inggris dan 25 Inspiring Christmas Stories – versi Inggris, plus 14 buku penulis lain yang saya terjemahkan ke Bahasa jerman).
Apa yang membuat proses penulisan buku ini berbeda dengan buku-buku yang pernah ditulis sebelumnya?
Mencoba membuat kejadian yang membuat Sam trauma tidak terlalu vulgar dan dapat diterima masyarakat luas. (maaf tidak mau spoiler) Dan mencoba mengangkat tema , apa yang terjadi setelah hal buruk itu terjadi.
Terus terang saya sering membaca berita media Indonesia, biasanya korban seperti Sam, di Indonesia malah dilecehkan (yang salah pihak ceweknya), dan dicemoohkan lingkungan. Kalau masih sekolah, si korban dikeluarkan dari sekolah, dikucilkan keluarga dan masa depan dijamin suram. Makanya banyak korban yang tidak mau memberitahu kejadian yang menimpanya, karena takut dihakimi masa. Akibatnya pelakunya seenaknya melanjutkan kebiasaannya ke perempuan lain.
Saya mencoba memberi masukan, bahwa dunia tidak langsung runtuh kalau kamu jadi korban. Dan ya, kamu bisa bangkit lagi, dan sukses.
Lakukan riset dan tetaplah menulis. Apakah settingnya di Indonesia atau tidak di Indonesia tetap harus riset.Terakhir, tuliskan pesan untuk calon-calon pembaca buku Berlabuh di Lindøya :D
Ada adegan di kampus FTUI di novel ini. Walaupun saya sendiri alumni FTUI, tetap saya riset dulu, ada apa aja di sana di saat cerita ini ada. Bentuk kantinnya, kondisi bis kuning, jadwal bis kuning, sampai mata kuliah yang masih ada. Ya bisa saja kan, ganti nama mata kuliah. Teman-teman saya juga membantu dengan memotret-motret kampus FTUI sekarang (pasti ada yang beda dari jaman saya kuliah) jadi detail cerita dijamin benar.
Terima kasih sudah ikut Blog Tour Berlabuh di Lindoeya, terima kasih sudah membaca "Behind the Scene" ini dan semoga suka ceritanya yang tidak melulu mengumbar kisah cinta, tapi juga sebagai tribut bagi semua wanita yang tetap tegar menyiasati masalah hidupnya.
Dengan senang hati saya tunggu semua komentarnya setelah selesai membaca bukunya.
♫ MUSIC PLAYLIST ♫
Dan yang terakhir, penulisnya juga membagikan beberapa lagu yang menjadi bagian dari kisah Berlabuh di Lindøya. Bagi kalian yang berencana akan membaca bukunya, jangan lupa untuk dengarkan lagu-lagu di bawah ini agar bisa membayangkan lagu seperti apa yang dibicarakan di dalamnya :)
Demikianlah akhir dari Behind the Scene buku Berlabuh di Lindøya, semoga bisa menambah wawasan dan juga memuaskan rasa penasaran kalian terhadap proses penulisan buku yang ditulis oleh Kusumastuti Fischer ini :) Bagi kalian yang masih memiliki pertanyaan yang ingin diajukan, kalian bisa menghubungi penulisnya secara langsung melalui beberapa link di bawah :) Jangan lupa untuk mengikuti giveaway berhadiah paket buku Gramedia di blog ini yang masih berlangsung sampai tanggal 18 Oktober. Dan tentunya, terus ikuti blog tour ini karena masih banyak blog lain yang membagikan post yang tidak kalah menarik :)
Wow, nggak nyangka ternyata penulis sudah banyak menghasilkan karya. Latar belakang pendidikan dan pekerjaannya juga keren, meski nggak berhubungan dengan sastra dan dunia literasi. Mantaplah. :)
ReplyDeleteIyaa ak jg baru tau klo penulisnya ternyata sarjana teknik mesin XD
Delete