BOOK review
Started on: 26.October.2014
Finished on: 1.November.2014
Finished on: 1.November.2014
Judul Buku : Rindu
Penulis : Tere-Liye
Penerbit : Republika
Tebal : 544 Halaman
Tahun Terbit: 2014
Tahun Terbit: 2014
Harga: Rp 58,650 (http://www.pengenbuku.net/)
Rating: 3/5
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Rating: 3/5
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Perjalanan haji adalah perjalanan penuh kerinduan, Ambo. Berjuta orang pernah melakukannya. Dan besok lusa, berjuta orang lagi akan terus melakukannya. Menunaikan perintah agama sekaligus mencoba memahami kehidupan lewat cara terbaiknya."Pada tahun 1938, Kapal Blitar Holland akan berangkat membawa sejumlah besar orang untuk menjalankan ibadah haji. Kapal tersebut dipenuhi oleh berbagai macam orang dari latar belakang bahkan suku yang berbeda-beda. Namun semuanya memiliki kerinduan yang sama yaitu untuk beribadah di Jeddah. Di dalam kapal tersebut, khususnya lima orang, memiliki pertanyaan dalam hati mereka masing-masing; yang nantinya akan terjawab lewat perjalanan yang panjang ini.
Keluarga Daeng Andipati terlihat sempurna di mata semua orang. Ia adalah seorang pedagang yang sukses, memiliki istri yang cantik, serta dua anak perempuan yang manis: Elsa dan Anna. Ada pula Gurutta Ahmad Karaeng di dalam kapal tersebut; seorang ulama terpandang yang disegani oleh banyak orang. Selain itu, pasangan Bonda Upe dan suaminya yang adalah keturunan China ikut pula dalam perjalanan haji tersebut. Pasangan berikutnya adalah sepasang suami-istri berusia lanjut: Mbah Kakung dan Mbah Putri, yang amat mencintai satu sama lain. Dan yang terakhir adalah penumpang yang sama sekali tidak berencana untuk naik ke Kapal Blitar Holland, seorang lelaki bernama Ambo Uleng; yang menggunakan perjalanan ini sebagai sarananya untuk lari dari rasa sakit hati.
"Kisah ini adalah tentang pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ada lima pertanyaan yang dibawa oleh lima penumpang dalam Kapal Blitar Holland... Sayangnya, lazimnya sebuah pertanyaan, maka tidak otomatis selalu ada jawabannya. Terkadang, tidak ada jawabannya. Pun penjelesannya."
"Begini sajalah. Semua orang selalu punya masalah hidupnya. Apakah aku bahagia? Iya. Aku bersyukur atas keluargaku. Bersyukur atas yang kumiliki. Tapi apakah aku sungguh bahagia? Kebahagiaan sejati? Aku justru membawa pertanyaan besar di atas kapal ini."Di atas kapal-lah mereka menjalani kehidupan mereka sehari-hari. Permasalahan yang terjadi baik di dalam maupun di luar kapal membuat para penumpang semakin mengenal dan menjadi lebih akrab satu sama lain. Seiring dengan berjalannya waktu, pertanyaan yang ada di dalam hati mereka perlahan-lahan muncul ke permukaan. Masa lalu setiap mereka mulai terungkap, dan Gurutta-lah yang menjadi tempat bagi mereka untuk mencari jawaban. Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa Gurutta pun punya pertanyaan dalam dirinya.
"Perang tidak pernah baik dari sisi mana pun melihatnya. Tapi kemerdekaan, layak dibayar dengan harga berapa pun."
image source: here. edited by me. |
Setiap kali Tere-Liye menerbitkan buku baru, aku selalu semangat untuk membacanya dan tentu saja dengan ekspektasi yang tinggi. Aku sudah cukup sering membaca karya Tere-Liye, dan sebagian besar berhasil membuatku kagum dengan tulisannya. Sayangnya, aku tidak sepenuhnya puas dengan buku ini—meskipun ada beberapa aspek ceritanya yang tetap aku sukai. Sebagian besar kekecewaanku adalah terhadap jalannya alur cerita buku ini, yang terasa cukup lambat. Untungnya, cara Tere-Liye menyampaikan kisahnya selalu berhasil membuatku penasaran dan ingin menyelesaikannya hingga akhir.
Aku sengaja tidak menulis terlalu banyak pada bagian ringkasan cerita di atas, karena aku rasa buku ini akan lebih dinikmati tanpa mengetahui terlalu banyak detail ceritanya. Seperti yang aku katakan, buku ini berhasil membuatku penasaran karena gaya penulisan Tere-Liye yang mengungkapkan pertanyaan masing-masing orang secara perlahan. Pembaca juga tidak tahu siapa saja orang-orang yang memiliki pertanyaan tersebut, sehingga itu sendiri menjadi faktor yang membuatku ingin terus membaca. Oleh karena itu aku tidak akan membahas terlalu banyak alurnya, dan lebih membahas tentang pesan-pesan yang disampaikan oleh buku ini. Mudah-mudahan pembahasan ini tidak terlalu banyak spoiler-nya.
Aku rasa cukup tiga pesan saja yang aku bagikan dalam review ini, supaya tidak mengungkap terlalu banyak bagi yang belum membaca bukunya ;) Dan meskipun sudah pernah aku dengar atau baca sebelumnya, pesan-pesan tersebut merupakan pengingat yang baik untukku. Selain pelajaran yang aku sebut di atas, aku juga menyukai beberapa karakter dalam buku ini, antara lain adalah: Gurutta Ahmad Karaeng, Ambo Uleng, dan Ruben si boatswain. Gurutta memang adalah sosok yang patut dihormati karena ia sangat bijaksana dalam setiap tindakan dan perkataannya. Sedangkan Ambo Uleng adalah karakter yang sangat pendiam, namun berperan besar dalam buku ini. Ending kisah Ambo Uleng adalah favoritku, karena penyelesaiannya sama sekali tidak terduga! Dan karakter favoritku yang terakhir, Ruben, adalah seorang kelasi teman sekamar Ambo Uleng yang sangat setia kawan.
Secara keseluruhan, meskipun aku kurang puas dengan alur ceritanya yang berjalan cukup lambat, aku masih dapat menikmatinya hingga akhir. Aku sangat suka dengan keharmonisan agama yang terjadi di atas Kapal Blitar Holland; karena Kapten Phillips menghormati para muslim yang menjalankan ibadahnya di atas kapal, dan para penumpang juga menghormati kelasi yang merayakan Natal. Meskipun buku ini ditulis dengan dasar agama Muslim, aku yang beragama Kristen pun masih dapat menerima pesan yang disampaikan oleh ceritanya dengan baik. Pada akhirnya, aku masih akan terus menantikan karya terbaru Tere-Liye karena aku masih sangat menyukai gaya tulisannya ;)
Aku sengaja tidak menulis terlalu banyak pada bagian ringkasan cerita di atas, karena aku rasa buku ini akan lebih dinikmati tanpa mengetahui terlalu banyak detail ceritanya. Seperti yang aku katakan, buku ini berhasil membuatku penasaran karena gaya penulisan Tere-Liye yang mengungkapkan pertanyaan masing-masing orang secara perlahan. Pembaca juga tidak tahu siapa saja orang-orang yang memiliki pertanyaan tersebut, sehingga itu sendiri menjadi faktor yang membuatku ingin terus membaca. Oleh karena itu aku tidak akan membahas terlalu banyak alurnya, dan lebih membahas tentang pesan-pesan yang disampaikan oleh buku ini. Mudah-mudahan pembahasan ini tidak terlalu banyak spoiler-nya.
- Setiap kali membaca buku, aku sangat suka dengan kisah yang secara bersamaan memberikan pelajaran tentang kehidupan. Pesan pertama yang disampaikan oleh buku ini adalah tentang memaafkan masa lalu kita sendiri. Mungkin ada banyak orang yang pernah melakukan kesalahan di masa lalunya; dan kesalahan itu terus menghantui—membuat kita was-was tentang penilaian orang lain terhadap kita. Akan tetapi buku ini mengajarkan bahwa penilaian orang lain tidaklah penting, karena kita-lah yang paling mengerti diri kita sendiri. Dan pertanyaan besarnya adalah: apakah seseorang dengan masa lalu yang penuh cacat akan tetap diterima di Tanah Suci?
"Sungguh, kalau kau berusaha lari dari kenyataan itu, kau hanya menyulitkan diri sendiri. Ketahuilah, semakin keras kau berusaha lari, maka semakin kuat cengkeramannya. Semakin kencang kau berteriak melawan, maka semakin kencang pula gemanya memantul, memantul, dan memantul lagi memenuhi kepala."
"Cara terbaik menghadapi masa lalu adalah dengan dihadapi. Berdiri gagah. Mulailah dengan damai menerima masa lalumu. Buat apa dilawan? Dilupakan? Itu sudah menjadi bagian hidup kita. Peluk semua kisah itu. Berikan dia tempat terbaik dalam hidupmu. Itulah cara terbaik mengatasinya. Dengan kau menerimanya, perlahan-lahan, dia akan memudar sendiri. Disiram oleh waktu, dipoles oleh kenangan baru yang lebih bahagia. "
"Maka ketahuilah, Nak, saat kita tertawa, hanya kitalah yang tahu persis apakah tawa itu bahagia atau tidak. Boleh jadi, kita sedang tertawa dalam seluruh kesedihan. Orang lain hanya melihat wajah. Saat kita menangis pun sama, hanya kita yang tahu persis apakah tangisan itu sedih atau tidak. Boleh jadi kita sedang menangis dalam seluruh kebahagiaan. Orang lain hanya melihat luar. Maka, tidak relevan penilaian orang lain."
- Yang kedua adalah tentang kebencian, dan apakah ia layak pergi naik haji dengan kebencian sebesar itu. Meskipun telah menjalani kehidupan yang penuh dengan berkah dan kebahagiaan, kebencian itu masih tetap bersarang di dalam hati. Dan sebenarnya, memaafkan orang yang kita benci adalah tindakan yang seharusnya dilakukan untuk kebaikan dan kedamaian kita sendiri.
"Ketahuilah, Nak, saat kita memutuskan memaafkan seseorang, itu bukan persoalan apakah orang itu salah, dan kita benar. Apakah orang itu memang jahat atau aniaya. Bukan! Kita memutuskan memaafkan seseorang karena kita berhak atas kedamaian dalam hati."
- Ada pula pesan yang muncul dari pertanyaan tentang takdir. Takdir memang adalah sesuatu yang tidak bisa kita kendalikan, dan ada masa ketika takdir itu datang membawa kesedihan secara tiba-tiba dalam kehidupan. Cerita ini menekankan bahwa memang tidak ada yang bisa kita lakukan untuk mengubah takdir, namun kita bisa merubah sikap kita dalam menerima takdir tersebut.
"Kang Mas, Allah memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Segala sesuatu yang kita anggap buruk, boleh jadi baik untuk kita. Sebaliknya, segala sesuatu yang kita anggap baik, boleh jadi amat buruk bagi kita."
"Tapi kembali lagi ke soal takdir tadi, mulailah menerimanya dengan lapang hati, Kang Mas. Karena kita mau menerima atau menolaknya, dia tetap terjadi. Takdir tidak pernah bertanya apa perasaan kita, apakah kita bahagia, apakah kita tidak suka. Takdir bahkan basa-basi menyapa pun tidak. Tidak peduli. Nah, kabar baiknya, karena kita tidak bisa mengendalikannya, bukan berarti kita jadi makhluk tidak berdaya. Kita tetap bisa mengendalikan diri sendiri bagaimana menyikapinya. Apakah bersedia menerima, atau mendustakannya."
Aku rasa cukup tiga pesan saja yang aku bagikan dalam review ini, supaya tidak mengungkap terlalu banyak bagi yang belum membaca bukunya ;) Dan meskipun sudah pernah aku dengar atau baca sebelumnya, pesan-pesan tersebut merupakan pengingat yang baik untukku. Selain pelajaran yang aku sebut di atas, aku juga menyukai beberapa karakter dalam buku ini, antara lain adalah: Gurutta Ahmad Karaeng, Ambo Uleng, dan Ruben si boatswain. Gurutta memang adalah sosok yang patut dihormati karena ia sangat bijaksana dalam setiap tindakan dan perkataannya. Sedangkan Ambo Uleng adalah karakter yang sangat pendiam, namun berperan besar dalam buku ini. Ending kisah Ambo Uleng adalah favoritku, karena penyelesaiannya sama sekali tidak terduga! Dan karakter favoritku yang terakhir, Ruben, adalah seorang kelasi teman sekamar Ambo Uleng yang sangat setia kawan.
Secara keseluruhan, meskipun aku kurang puas dengan alur ceritanya yang berjalan cukup lambat, aku masih dapat menikmatinya hingga akhir. Aku sangat suka dengan keharmonisan agama yang terjadi di atas Kapal Blitar Holland; karena Kapten Phillips menghormati para muslim yang menjalankan ibadahnya di atas kapal, dan para penumpang juga menghormati kelasi yang merayakan Natal. Meskipun buku ini ditulis dengan dasar agama Muslim, aku yang beragama Kristen pun masih dapat menerima pesan yang disampaikan oleh ceritanya dengan baik. Pada akhirnya, aku masih akan terus menantikan karya terbaru Tere-Liye karena aku masih sangat menyukai gaya tulisannya ;)
"Perjalanan hidupmu boleh jadi jauh sekali, Nak. Hari demi hari, hanyalah pemberhentian kecil. Bulan demi bulan, itu pun sekadar pelabuhan sedang. Pun tahun demi tahun, mungkin itu bisa kita sebut dermaga transit besar. Tapi segera kita berangkat kembali, menuju tujuan yang paling hakiki."
No comments:
Post a Comment