Monday, April 28, 2014

Book Review: Teater Boneka by Emilya Kusnaidi, Orinthia Lee, Ayu Rianna

.
BOOK review
Started on: 22.April.2014
Finished on: 24.April.2014


Judul Buku : Teater Boneka
Penulis : Emilya Kusnaidi, Orinthia Lee, Ayu Rianna
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 320 Halaman
Tahun Terbit: 2014
Harga: Rp 51,000 (http://www.pengenbuku.net/)

Rating: 3.5/5
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 
"Erin tidak pernah menduga akan membiarkan orang lain membaca ceritanya yang belum jadi. Biasanya ia akan menyembunyikan tulisannya rapat-rapat. Tapi Awan memang aneh. Selain misterius, Awan juga dengan cara yang tidak terduga bisa membuat Erin merasa nyaman berada di dekatnya - membuat Erin merasa membutuhkan lelaki itu."
Teater Boneka Poppenkast adalah warisan yang amat berharga bagi Erin Anindita. Poppenkast sudah berdiri selama lima puluh tahun; dan meskipun teater boneka ini mengalami banyak kesulitan, Erin sama sekali tidak berniat untuk menyerah. Ia ingin terus memperjuangkan Poppenkast beserta seluruh staf yang sudah amat setia bekerja keras. Akan tetapi tindakannya tersebut menimbulkan pertengkaran antara Erin dan kekasihnya, Robert - yang menganggap bahwa usaha Erin sia-sia. Keterpurukan Erin menemui titik terang saat ia melihat seorang lelaki dewasa datang untuk menonton di Poppenkast - sesuatu yang sudah lama tidak dilihatnya. Lelaki misterius bernama Awan itu membawa perubahan bagi Erin dan Teater Boneka Poppenkast.

"Tapi teater ini yang ngasih makan keluarga aku selama bertahun-tahun,... Penghasilan dari teater ini juga yang dipakai Ayah untuk menyekolahkanku, sampai lulus kuliah! Dan sekarang kamu suruh aku ninggalin Poppenkast biar bisa mengembangkan diri? Kamu nyuruh aku jadi orang yang egois, mikirin diri sendiri?"
Awan datang ke Poppenkast untuk mengenang kebersamaannya bersama Ayahnya yang baru saja meninggal. Dan tiba-tiba saja Awan mendapat ide untuk melamar kerja di Poppenkast. Akan tetapi ia sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk menjadi dalang. Meskipun Erin sudah berusaha menolak dengan berbagai macam alasan, Awan yang keras kepala tetap bersikeras. Awan bahkan menyatakan bahwa ia rela bekerja tanpa digaji asal ia boleh bekerja di Poppenkast.
"Awan itu memang laki-laki yang aneh, pikir Erin.
Tapi lebih aneh lagi karena hati Erin justru terasa hangat saat laki-laki itu berada di dekatnya. Seandainya Erin bisa tahu lebih banyak lagi tentang Awan, seandainya laki-laki itu bisa lebih membuka dirinya pada Erin, sedikit saja..."
Di saat Erin sedang merasa terpuruk, Awan-lah yang selalu berhasil membuat Erin kembali tersenyum dan membangkitkan semangatnya kembali. Akan tetapi suatu hari Erin menyadari sesuatu yang membuatnya semakin penasaran dengan latar belakang Awan. Lelaki itu selalu mengenakan jaket lusuh yang sama, dan penampilannya menunjukkan bahwa ia hanya hidup pas-pasan. Namun kenyataan bahwa Awan mau bekerja tanpa digaji menimbulkan pertanyaan bagi Erin; terlebih lagi saat ia melihat Awan mempunyai sebuah kunci mobil dan ponsel canggih.

Pertanyaan Erin perlahan-lahan terjawab saat seorang perempuan bernama Arum datang ke Poppenkast mencari Awan. Saat itulah, semua rahasia Awan dan alasan mengapa ia rela bekerja di Poppenkast tanpa digaji pun terungkap. Meskipun Erin sudah menganggap Awan sebagai seseorang yang amat berharga, ia kembali merasa asing terhadap lelaki itu. Awan pun harus memilih untuk menyelesaikan permasalahan masa lalunya, atau tetap bertahan di Poppenkast.
"Ia masih setengah tidak percaya atas fakta-fakta baru yang diterimanya malam ini. Fakta-fakta yang bahkan tidak pernah muncul di pikirannya.
Terutama tentang siapakah Awan sebenarnya."
Baca kisah selengkapnya di Teater Boneka.
image source: here. edited by me.
Aku rasa ini adalah pertama kalinya aku membaca sebuah novel yang ditulis bersamaan oleh tiga penulis - yang bergabung dalam kelompok Gramedia Writing Project. Awalnya aku sedikit ragu apakah ceritanya akan mengalir dengan baik jika ditulis oleh tiga orang secara bersamaan; tetapi ternyata saat membaca, sama sekali tidak terasa bahwa buku ini ditulis bertiga. Sebelum mendapatkan buku ini lewat #ResensiPilihan Gramedia, aku sudah sangat penasaran dengan buku yang berkisah tentang sebuah teater boneka ini. Apalagi salah satu penulisnya, Orinthia Lee, adalah member Blogger Buku Indonesia (BBI) - sehingga membuatku semakin semangat untuk membaca saat mendapat buku ini sebagai hadiah :))

Teater Boneka ditulis dari sudut pandang ketiga; dimulai dengan mengisahkan tentang Poppenkast yang perlahan-lahan mulai kehilangan peminat. Anak-anak jauh lebih tertarik dengan gadget yang canggih, sehingga menonton pertunjukkan boneka terkesan membosankan. Lalu kemudian muncul Awan, dengan segala kemisteriusannya. Separuh pertama bukunya berbicara tentang Erin yang berusaha menuliskan cerita-cerita baru yang lebih menarik - dan tentu saja dibantu oleh Awan. Setelah Arum muncul di paruh kedua buku ini, ceritanya lebih terfokus pada permasalahan masa lalu Awan - yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan Poppenkast. Entah mengapa, aku sangat bersemangat membaca paruh pertama buku ini - mungkin karena aku amat penasaran dengan identitas Awan yang sebenarnya. Sayangnya, di paruh kedua yang berbicara tentang masalah Awan, rasa penasaran itu sudah hilang - dan aku juga merindukan manis dan hangatnya keluarga Poppenkast. Dibanding konflik tentang Poppenkast, aku merasa konflik tentang kehidupan Awan jauh lebih disorot dalam buku ini. Padahal sejak awal cerita ini dimulai, aku sudah bersimpati dan mulai masuk dalam dunia Poppenkast yang hangat; sehingga saat Poppenkast tiba-tiba hilang dari ceritanya dan fokus pada Awan, mungkin aku kehilangan semangat membaca. Walau demikian, aku tetap berhasil menikmati buku ini hingga akhir; ending-nya cukup manis meskipun aku rasa berjalan terlalu cepat (seperti yang dikatakan sendiri di bukunya).
"Lari dari masalah tidak akan pernah menjadi jalan keluar, itu yang Awan pelajari dari semua kejadian yang menimpanya."
Jika karakter para staf Poppenkast lebih banyak disorot, mungkin aku akan bisa memilih karakter favoritku di antara mereka. Akan tetapi karena hal itu tidak terjadi, aku akhirnya memilih Arum sebagai karakter favoritku. Arum adalah karakter yang sangat peduli pada Awan dan ia sangat menyenangkan. Aku tidak akan menjelaskan terlalu banyak tentang Arum (supaya tidak spoiler); tetapi menurutku chemistry antara Arum dan Awan jauh lebih terasa dibandingkan Awan dan Erin. Mungkin karena saat Awan berusaha menyelesaikan permasalahannya, Erin sama sekali tidak muncul dan tidak dibahas dalam ceritanya (dan jauh lebih banyak berinteraksi dengan Arum).

Secara keseluruhan, aku cukup menikmati dan menyukai buku ini; meskipun paruh kedua ceritanya tidak sepenuhnya sesuai dengan harapanku. Akhirnya terpuaskan juga rasa penasaranku terhadap buku ini; dan aku juga menantikan para penulis buku ini (Emilya Kusnaidi, Orinthia Lee, dan Ayu Rianna) menerbitkan buku solo mereka masing-masing :)

by.stefaniesugia♥ .

6 comments:

  1. Reviewnya bagus! Aku jadi ngeh kalau memang porsi Poppenkast jadi ilang karena masalah Awan. Ini jadi masukan buat proyek2 berikutnya. *hugs*

    Makasih, yah udah baca dan mereview ♡

    ReplyDelete
    Replies
    1. Selamat juga atas terbitnya buku ini! ^^ Thank you juga udh baca reviewnya ;)
      Ditunggu karya2 selanjutnya :D

      Delete
  2. wah reviewnya menarik, jd pengen baca juga ^^

    http://riikaag.blogspot.com
    hi,can you visit my blog too? i hope we can be friend ^^

    ReplyDelete
  3. Kayanya ide ceritanya agak mirip kaya iklan samsung GALAXY note 3 yg judulnya "dream" ya.. Tentang teater boneka warisan yang mau ditutup. Any way, belum bisa memastikan, belum baca novelnya soalnya. Smoga ceritanya berbeda biar indonesia g dibilang plagiat lagi. Hehe

    ReplyDelete