Friday, April 4, 2014

Book Review: Scarlet Preludium by Silvia Arnie

.
BOOK review
Started on: 1.April.2014
Finished on: 3.April.2014

Judul Buku : Scarlet Preludium
Penulis : Silvia Arnie
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 296 Halaman
Tahun Terbit: 2014
Harga: Rp 44,200 (http://www.pengenbuku.net/)

Rating: 3/5
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------  
"Aku tak pernah berpikir aku akan sanggup melalui ini, aku sudah tidak pulang berhari-hari. Aku bahkan rela membunuh untuk mendapatkan obat laknat itu. Tapi kini semua berubah, aku harus sembuh. Aku harus bersih. Aku ingin hidup normal lagi."
Kehidupan Scarlet sudah hancur berantakan, dan meskipun ia berusaha keras untuk membenahinya, masalah terus datang bertubi-tubi. Ia bekerja sebagai seorang kolumnis yang memberikan saran kepada para pembaca mengenai masalah mereka (meskipun ironisnya, kehidupan Scarlet sendiri tidak bisa dikatakan luar biasa baik) dan juga menjadi seorang pianis di sebuah lounge. Sepulang kerja dari lounge, ia menemukan mobilnya dalam keadaan menyedihkan - kaca pecah, wiper patah, hingga bumper yang terlepas dari tempatnya. Ternyata kesialan tersebut berawal dari sebuah kesalahpahaman, menyangkut seorang lelaki bernama Devon - penyanyi dari band yang juga tampil di lounge. Hari itu adalah awal mula segalanya; perubahan dalam hidup Scarlet yang telah hampa setelah bertahun-tahun lamanya.

"Sesaat, aku ingin waktu berhenti. Aku ingin menangkap perasaan ini, kubingkai dalam pigura emas dan kupajang di sudut kamarku. Agar suatu saat nanti, saat aku kembali kesepian, aku bisa menatap pigura itu dan ingat bagaimana rasanya terbuai dalam kebersamaan."
Meskipun Scarlet selalu melihat Devon sebagai sumber malapetaka, lelaki yang tampaknya selalu ceria itu tidak pernah menyerah mendekati Scarlet dalam setiap kesempatan. Ia menawarkan untuk mengantar Scarlet pulang karena ia merasa bersalah atas apa yang menimpa mobil gadis itu. Bahkan saat mengetahui Scarlet akan berulangtahun, Devon tampak bersemangat untuk merayakannya. Walaupun Scarlet awalnya tidak setuju, jebakan yang disiapkan oleh sahabatnya - Aira, berhasil membuat Scarlet datang ke lounge, tempat Devon telah menyiapkan sebuah kejutan. Malam itu, Devon berhasil meruntuhkan sedikit tembok tinggi yang mengelilingi Scarlet dengan mengungkapkan banyak rahasia tentang dirinya. Perlahan-lahan, Scarlet mulai menerima Devon sebagai seorang teman.

Masa lalu kembali menghantui Scarlet saat sebuah undangan pernikahan terselip di pintu rumahnya. Undangan itu datang dari seorang sahabat lama yang telah meninggalkan luka teramat dalam di hatinya. Awalnya Scarlet ragu untuk menghadiri pernikahan tersebut, karena semua orang di sana mengetahui masa lalunya. Hingga akhirnya Devon menawarkan diri untuk menemani Scarlet menghadiri pesta tersebut, agar ia tidak perlu menghadapi semua sendirian. Pada hari itu pula, Scarlet memutuskan untuk membongkar semua rahasianya di hadapan Devon - kekelaman masa lalunya, perbuatan nistanya, dan akibat dari seluruh perbuatannya itu. Di saat yang sama, Devon juga membagi kepahitan masa lalunya pada Scarlet. Setelah sekian lama hidup mati rasa, sebuah perasaan muncul dalam hati Scarlet.
"Hidupku mungkin akan berbeda, La. Tapi belum tentu jadi lebih baik daripada sekarang. Ini jalan hidupku dan aku terima. Aku nggak bisa terus-terusan marah sama kamu atau pun sama keadaan,"
Di saat Scarlet merasa ada secercah harapan tumbuh dalam hidupnya yang gelap, kenyataan pahit harus ia terima. Ia hanya bisa memendam segala kekecewaan dan sakit yang ia rasakan, karena ia tidak mau lagi kehilangan seorang sahabat. Scarlet dihadapkan dengan dua pilihan: untuk berjuang bangkit dari hidupnya yang lama dan memulai awal yang baru, atau menyerah.
 
Baca kisah selengkapnya di Scarlet Preludium.
image source: here. edited by me.
Sejujurnya aku menaruh harapan dan ekspektasi yang cukup tinggi untuk buku ini karena premisnya yang terkesan kelam. Selain itu, aku juga sangat menikmati karya Silvia Arnie waktu ia menuliskan novel teenlit-nya yang berjudul A Life dan My Sky sekitar 7 tahun yang lalu. Sayangnya, bisa dikatakan aku sedikit merasa kecewa dengan buku ini; karena meskipun premisnya cukup menjanjikan, aku rasa eksekusi ceritanya kurang maksimal dan tidak memberikan dampak emosional seperti yang aku harapkan. Saat membaca buku ini, ada beberapa hal yang aku sukai dan ada pula yang kurang aku sukai - sehingga pada akhirnya aku memutuskan untuk memberi rating 3 dari 5 untuk buku ini.

Buku ini ditulis dari sudut pandang pertama Scarlet, membuat pembaca mengetahui dengan jelas apa yang ia rasakan dan alami. Kisahnya diawali dengan sebuah prolog, dengan adegan saat Scarlet sedang berusaha keras melawan keinginannya untuk menggunakan obat-obatan terlarang. Tidak ada keterangan waktu yang jelas tentang kapan hal tersebut terjadi, sehingga aku pikir ceritanya akan berlanjut dari situ. Namun ternyata cerita sesungguhnya dimulai sekitar 5 tahun kemudian, saat Scarlet bekerja keras menghidupi dirinya sendiri dan dipertemukan dengan Devon. Aku merasa sedikit kesulitan bersimpati dengan karakter Scarlet, karena ceritanya tidak memberikan penjelasan di awal tentang masa lalu Scarlet. Hal tersebut dijelaskan sedikit demi sedikit seiring dengan berjalannya cerita. Sebenarnya dengan latar belakang sekelam Scarlet, aku berharap ceritanya bisa berkembang menjadi lebih emosional atau bahkan menggugah - namun entah kenapa aku kurang merasakan hal tersebut. Satu-satunya adegan yang berhasil membuatku merasakan kepedihan Scarlet adalah kejatuhannya setelah ia jatuh cinta pada Devon, salah satu twist yang mengejutkanku dalam cerita ini (meskipun aku tidak akan menjabarkan secara detail, supaya tidak spoiler). Walaupun aku kurang begitu puas dengan ending yang terkesan sedikit dipaksakan, setiap permasalahan yang ada diselesaikan dengan baik. Aku rasa pesan utama dari kisah ini adalah, seburuk apapun kehidupan atau masa lalumu, tidak pernah terlambat untuk memulai dari awal dengan keinginan yang kuat :)
"Kata psikiaterku, kebahagiaan datangnya dari pikiran kita sendiri. Jika kita ikhlas, bersyukur, dan menganggap bahwa hidup yang kita jalani ini sudah cukup baik, maka kita akan bahagia. Karena tak ada standar kebahagiaan internasional, semua orang punya ukuran kebahagiaannya masing-masing."
Tidak ada banyak karakter dalam buku ini, dan awalnya aku juga ikut jatuh cinta dengan karakter Devon yang ceria, menyenangkan, dan ramah. Sayangnya pada satu titik, kesan tersebut berubah 180 derajat, dan aku kesulitan untuk kembali menyukai karakter ini. Jika harus memilih karakter favorit, aku akan memilih Aira - sahabat Scarlet. Meskipun hanya berperan sebagai sahabat, ia sangat menyayangi Scarlet seperti saudaranya sendiri. Dan menurutku apa yang dilakukan Aira untuk Scarlet di akhir cerita patut diberi acungan jempol.

Overall, seperti yang aku katakan sebelumnya, ada hal yang kusukai dan juga tidak kusukai dari buku ini - dan sejujurnya aku mengharapkan kisah yang jauh lebih emosional daripada ini. Banyaknya typo/kesalahan ketik yang kutemukan dalam buku ini juga cukup menganggu proses membaca. Namun di sisi lain, buku ini juga memberikan pesan yang cukup kuat bagi orang-orang yang mengalami keterpurukan seperti Scarlet. Pada akhirnya, aku masih terus berharap Silvia Arnie akan menerbitkan buku yang berhasil membuatku jatuh cinta seperti karya-karya terdahulunya :))
 
by.stefaniesugia♥ .

No comments:

Post a Comment