BOOK review
Started on: 23.November.2013
Finished on: 28.November.2013
Finished on: 28.November.2013
Judul Buku : Pasung Jiwa
Penulis : Okky Madasari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 328 Halaman
Tahun Terbit: 2013
Tahun Terbit: 2013
Harga: Rp 46,750 (http://www.pengenbuku.net/)
Rating: 4.5/5
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Rating: 4.5/5
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Seluruh hidupku adalah perangkap....Sasana adalah seorang lelaki yang lahir dari orangtua yang mapan; Ayahnya adalah seorang pengacara, sedangkan Ibunya adalah dokter bedah. Sejak kecil, Ayah dan Ibunya menyuruhnya belajar dan berlatih main piano - dan meskipun Sasana cukup berbakat dalam memainkan alat musik itu, ia tidak pernah benar-benar menyukainya. Namun ia seketika jatuh cinta saat pertama kali ia mendengar musik dangdut, dan Sasana begitu menikmatinya hingga tanpa ia sadari tubuhnya sudah menari-nari mengikuti irama. Ketika orangtuanya tahu, sikap Sasana itu dianggap memalukan - sehingga Sasana kemudian disekolahkan di sekolah khusus laki-laki. Namun Sasana justru semakin menderita dan seolah terpenjara.
Sekarang aku di sini. Dalam perangkap yang terlihat mata. Diimpit tembok-tembok tinggi yang sebenarnya. Terkurung, tertawan, terpenjara. Entah berapa lama.
Mungkin aku akan tabah menjalaninya. Menunggu hingga hari pembebasan tiba - walaupun bukan hari pembebasan yang sebenarnya. Karena saat hari itu tiba, aku akan kembali masuk ke perangkap-perangkap lainnya."
"Beberapa kali ada guru yang melihat penganiayaan. Tapi tak ada yang mengambil tindakan. Tak ada yang kena hukuman. Bagi sekolah ini, keributan, perkelahian, penganiayaan, adalah urusan kecil remaja laki-laki yang bisa diselesaikan mereka sendiri. Aku pun jadi membenci laki-laki. Membenci diriku sendiri yang jadi bagian laki-laki. Jika aku bukan laki-laki, aku tak akan masuk sekolah ini. Jika aku tak masuk sekolah ini, aku tak akan menderita seperti ini."Kehidupan Sasana berubah total saat ia melanjutkan kuliah di Malang dan bertemu dengan Cak Jek. Perkenalannya dengan Cak Jek membangkitkan kembali hasrat Sasana terhadap dangdut - dan membuatnya meninggalkan kuliah untuk mengamen bersama Cak Jek. Sasana yang selalu bersemangat dalam menyanyi dangdut dan bergoyang diiringi musik gitar yang dimainkan Cak Jek menarik perhatian banyak orang. Cak Jek kemudian menyarankan agar mereka tampil dengan lebih profesional - dimulai dari mendandani Sasana dengan pakaian wanita dan merias wajahnya. Kemudian Sasana mulai menggunakan nama panggungnya: Sasa. Keduanya pun laris menghibur di berbagai macam acara. Untuk pertama kalinya, Sasana merasa bahagia dan bebas saat ia menjadi Sasa.
"Tak pentinglah bagaimana orang memanggilku. Karena aku tetaplah aku. Tak peduli bagaimana wujudku, aku tetaplah aku. Kini aku menjelma sebagai Sasa. Biduan pujaan semua orang. Si cantik bersepatu merah dengan rok mini yang meriah."
"Kadang aku lelah, bosan rasanya harus terus menjadi orang lain. Tapi tak pernah sampai lama. Tiba-tiba seakan ada yang mengingatkan: Yang mana orang lain yang kumaksudkan? Apakah Sasa adalah orang lain? Lalu siapa diriku? Bagaimana jika memang Sasa adalah aku? Bagaimana jika Sasa adalah sebenarnya jiwaku?"Namun kebahagiaan dan kesuksesan mereka tidak berlangsung lama. Saat Sasa menggunakan goyangannya untuk melakukan protes, ia beserta Cak Jek ditangkap oleh polisi dan masuk ke dalam tahanan. Tempat itu adalah mimpi buruk bagi Sasa saat para tentara yang menginterogasinya melakukan tindakan yang tidak pantas secara seksual kepadanya. Bahkan setelah ia dikeluarkan dari penjara, setiap hari Sasana dihantui oleh ingatan dan bayangan yang terus menyiksa batinnya. Sasana selalu diliputi oleh perasaan terancam, rasa ketakutan akan apa yang pernah terjadi padanya. Hingga akhirnya ia harus memasuki perangkap hidup yang selanjutnya: rumah sakit jiwa.
"Hanya saat mabuk aku bisa lari dari hidupku saat ini. Aku bisa menyanyi, bisa bermain gitar, bisa melakukan apa saja. Aku bukan lagi mesin pabrik. Aku adalah pemilik diriku, tubuhku, dan pikiranku. Dalam mabuk aku menemukan kesadaran. Dalam mabuk aku tahu seperti apa yang sebenarnya kenyataan."Di sisi lain, Cak Jek menjalani kehidupan yang berbeda setelah ia keluar dari tahanan. Ia tidak bisa kembali mengamen karena polisi masih mengincarnya; sehingga pilihan satu-satunya adalah pergi ke Batam untuk bekerja. Setiap hari dari jam delapan pagi sampai jam empat sore, ia bekerja di sebuah pabrik televisi, mengusap kaca yang akan dijadikan layar. Ia adalah mesin pabrik dengan upah yang tidak seberapa. Perjalanan hidupnya pun tidak selalu mulus. Ia dipertemukan dengan dunia pelacuran, pemberontakan, dan harus kembali menjalani pelarian yang panjang.
Sasana dan Cak Jek adalah dua orang yang berusaha mencari kebebasan di dunia yang penuh dengan aturan yang seolah memenjara mereka. Dan meskipun keduanya terpisah untuk waktu yang lama, takdir mempertemukan Sasana dan Cak Jek kembali dengan cara yang tidak akan pernah mereka duga; pertemuan yang membuat kenangan tentang masa lalu kembali bermunculan. Akan tetapi apakah Sasana dan Cak Jek pada akhirnya dapat memperoleh kebebasan yang selama ini mereka dambakan?
"Aku si Sasa. Saudara kembar Sasana. Kami kembar, tapi kami berbeda. Kami satu tubuh, tapi kami dua jiwa. Kami tak saling meniadakan. Kami sepasang jiwa yang saling merindukan. Menjadi dua bukanlah kesalahan. Menjadi satu bukanlah keharusan."
Baca kisah selengkapnya di Pasung Jiwa.
image source: here. edited by me. |
Pasung Jiwa menyorot dua karakter utama dalam ceritanya: Sasana dan Cak Jek - meskipun pembaca tentunya akan lebih mengenal karakter Sasana yang diperkenalkan sejak ia masih kecil. Buku ini dituliskan dari sudut pandang pertama karakternya, sehingga pembaca dapat mengetahui dengan baik apa yang dirasakan dan dialami oleh karakter tersebut. Kisahnya dimulai dengan pertumbuhan Sasana dalam didikan orangtua yang selalu mengarahkan tujuan hidupnya. Hal itu membuat Sasana harus menderita di sekolah karena disiksa oleh murid-murid lain yang memalakinya. Dalam masa sekolah Sasana, yang disorot dalam ceritanya adalah tentang belenggu kekuasaan yang begitu kuat di sekelilingnya. Murid-murid yang menyiksa Sasana tidak pernah mendapatkan hukuman yang setimpal; bahkan Ayah Sasana yang seorang pengacara pun tidak sanggup berbuat apa-apa. Cerita sebenarnya baru dimulai saat Sasana masuk kuliah dan bertemu Cak Jek. Di pertengahan cerita, sudut pandang kisahnya berpindah ke Cak Jek (Jaka Wani). Pengalaman yang dialami Cak Jek juga tidak kalah mengenaskan dibanding Sasana. Pertemuannya dengan perempuan di pelacuran juga menyinggung masalah kemanusiaan yang lain. Bagian yang paling aku sukai adalah ending-nya yang sangat tidak terduga. Aku sama sekali tidak menyangka jalan hidup Cak Jek akan berpindah sedemikian jauh, dan pertemuannya kembali dengan Sasana membuatku ikut merasakan dilema yang dialaminya. Meskipun penutup buku ini agak terasa menggantung (membuatku penasaran bagaimana nasib mereka selanjutnya), aku rasa ending-nya cukup memuaskan :)
"Aku tidak terima ia berkata seperti itu tentang orang-orang di kamar sebelah. Aku tersinggung. Ia juga seperti sedang mengejek aku, walaupun jelas-jelas maksudnya hanya untuk teman-temannya di tempat ini. Tapi memang seperti itu juga kan keadaanku. Terjebak, terjerumus, jadi korban. Tiap hari melakukan hal yang jelas-jelas tidak aku sukai. Tapi mau bagaimana lagi?"Sepanjang cerita, Sasana dan Cak Jek menemui orang-orang yang berbeda; dan karakter-karakter itulah yang menjadi favoritku. Yang pertama adalah Masita, dokter yang mengambil spesialis psikiatri dan berada di rumah sakit jiwa untuk melakukan penelitian. Aku beberapa kali mengulang kalimat-kalimat yang Masita katakan dalam buku ini, untuk bisa benar-benar meresapi maksudnya. Ia mengutarakan pendapatnya tentang pasien-pasien yang terkurung di dalam rumah sakit itu, orang-orang yang dianggap tidak waras oleh dunia luar. Masalah tentang orang yang dianggap sakit jiwa tidak pernah terpikir olehku sebelumnya; dan buku ini berhasil membuatku merenungkannya.
"Tak ada jiwa yang bermasalah. Yang bermasalah adalah hal-hal yang ada di luar jiwa itu. Yang bermasalah itu kebiasaan, aturan, orang-orang yang mau menjaga tatanan. Kalian semua harus dikeluarkan dari lingkungan mereka, hanya karena kalian berbeda."
"Setidaknya di luar sana kehendak bebas kalian bisa terus dihidupkan,... Di sini kehendak itu sengaja dimatikan. Agar kalian patuh, agar kalian tak berontak. Akhirnya, lihat yang dilakukan Banua dan Gembul. Mereka membunuh diri mereka sendiri. Sebab itu satu-satunya kehendak bebas yang masih bisa mereka ikuti."Karakter favoritku yang kedua adalah Elis - seorang pelacur yang ditemui oleh Cak Jek di rumah bordil. Ia adalah seorang perempuan yang mempunyai sudut pandang berbeda tentang melacur; bahwa ia tidak merasa terpaksa melakukannya. Bahwa "semua hal tergantung pada kita. Mau menerima atau mau melawan. Mau dikurung atau mau bebas merdeka.". Elis mengatakan bahwa Cak Jek yang menggunakan tubuhnya menjadi mesin pabrik untuk mendapatkan uang sama sekali tidak berbeda dengan dirinya yang menggunakan tubuhnya untuk mencari uang. Meskipun aku tahu menjadi seorang pelacur bukanlah pekerjaan yang dianggap halal, aku rasa tidak ada yang salah dari pendapatnya (untuk lebih jelas tentang hal ini, lebih baik dibaca sendiri bukunya ^^).
Secara keseluruhan, aku sangat menyukai buku ini. Tema yang diangkat ceritanya benar-benar membuatku berpikir, dan penulisan Okky Madasari tidak perlu diragukan lagi. Okky Madasari berhasil membuatku merasakan setiap emosi yang dialami oleh karakter-karakternya, membuatku tersedot masuk ke dalam dunia Sasana dan Cak Jek. Sebenarnya masalah kemanusiaan yang dibahas dalam buku ini tidak hanya satu atau dua saja; bahkan ada beberapa yang tidak sempat aku tuliskan dalam review ini. Setiap kali membaca karya Okky Madasari, ia selalu berhasil membuatku memikirkan perkara kemanusiaan yang selama ini tidak pernah aku pikirkan. Apakah keadilan akan selalu kalah dibandingkan kekuasaan? Apakah rasa kemanusiaan kalah dibandingkan hukum agama? Buat yang penasaran tentang semua topik yang dibahas dalam Pasung Jiwa, silahkan baca sendiri bukunya ^^
"Aku menyanyi, aku bergoyang. Itulah suaraku, itulah teriakanku. Air mataku berdesakan saat gemuruh tepuk tangan terdengar. Aku merasa begitu berarti. Harga diriku membulat dan mengeras. Inilah wujud pelampiasan dendamku pada orang-orang yang telah merobek harga diriku."
thanks banget review bukunya...
ReplyDelete