BOOK review
Started on: 18.Mei.2012
Finished on: 21.Mei.2012
Finished on: 21.Mei.2012
Judul Buku : Memori
Penulis : Windry Ramadhina
Penerbit : GagasMedia
Tebal : 312 Halaman
Tahun Terbit: 2012
Harga: 38,250 (http://pengenbuku.blogspot.com/)
Rating: 4.5/5
"Tidak ada perasaan yang bertahan selamanya. Aku belajar itu dari Papa. Cepat atau lambat, sesuatu yang kita miliki akan hilang dan yang tertinggal kemudian cuma rasa benci."
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Rating: 4.5/5
"Tidak ada perasaan yang bertahan selamanya. Aku belajar itu dari Papa. Cepat atau lambat, sesuatu yang kita miliki akan hilang dan yang tertinggal kemudian cuma rasa benci."
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Seringkali aku tidak bisa memahami segala sesuatu yang terjadi dalam hidupku. Kepingan-kepingan peristiwa yang membentuk aku dan memengaruhi keputusan-keutusan yang telah aku buat.
Perpisahan Papa dengan Mae. Kehadiran Grace dan Sigi. Kecelakaan mobil yang memaksaku kembali ke Jakarta. Gehry yang berada dalam jangkauan, tetapi tidak bisa kuraih.
Lalu, pertemuan kembali antara aku dan Simon."
Kisah ini bermula dari seorang arsitek bernama Mahoni, yang sedang membangun kariernya di Virginia; kota yang jauh dari negara asalnya. Akan tetapi kenangan-kenangan yang tidak ingin ia ingat muncul kembali, ketika ia mendengar sebuah pesan telepon yang menanyakan kabarnya. Pesan tersebut datang dari orang yang pernah amat dicintai Mahoni, teman bicaranya, sosok yang amat dikaguminya. Sayangnya, Mahoni telah dibuat patah hati dengan rasa kecewa yang amat berat; meninggalkan luka yang mendalam dalam hatinya. Orang tersebut adalah sosok yang ia sebut Papa.
Mae - Mama Mahoni, yang tak pernah ia panggil Mama lagi - ditinggalkan oleh suaminya semenjak mereka sering bertengkar dan muncul wanita bernama Grace. Semenjak kehadiran Grace, keluarga Mahoni menjadi kacau, terlebih lagi Mae yang selalu terpuruk dalam kesedihan dan meratapi kepahitan hatinya. Apalagi ketika Mahoni mengetahui Ayahnya dan Grace mempunyai seorang anak, yang akan menjadi adik tiri bagi Mahoni; hati Mahoni dipenuhi dengan kekecewaan yang luar biasa. Semua itu sebenarnya sudah menjadi kenangan bagi Mahoni; akan tetapi takdir sepertinya berkata lain saat Mahoni mendapat telepon dari Om-nya, yang mengabarkan bahwa Ayahnya dan Grace meninggal dalam kecelakaan mobil.
Mendengar berita mengejutkan itu, tanpa alasan yang ia ketahui jelas, Mahoni memutuskan untuk pulang kembali ke Jakarta. Setibanya di Jakarta, ia menginjakkan kakinya kembali di rumah Papanya; rumah yang dipenuhi kenangan bersama dengan Ayah yang amat ia sayangi. Memori-memori yang telah Mahoni simpan rapat-rapat kembali muncul permukaan. Dan berita yang mengejutkan baginya tidak berhenti sampai di situ; Mahoni harus berada dalam keadaan terjepit yang sangat tidak ia inginkan. Ia harus tinggal selama dua bulan untuk menjaga adik tirinya: Sigi.
Kepulangan Mahoni ke Jakarta tidak hanya mempertemukannya dengan Sigi; tetapi juga dengan seseorang dari masa lalunya: Simon Marganda. Lelaki itu adalah teman Mahoni semasa kuliah; mereka sama-sama membangun karier dalam dunia arsitek. Pada pertemuan pertama mereka, Simon menawari Mahoni untuk bekerja di studionya; MOSS. Tentu saja Mahoni tidak menolak; selain saat itu ia tidak mempunyai pekerjaan, ia selalu ingin tahu bagaimana rasanya bekerja sama dengan seorang Simon.
Seiring berjalannya waktu, hubungan Mahoni dengan Sigi (adik tirinya yang dulu sama sekali tidak mau ia akui) perlahan-lahan menjadi lebih dekat. Mahoni beberapa kali merasa tersentuh oleh sikap hangat Sigi, dan ia tidak mampu menolak perasaan memiliki keluarga - sesuatu yang selalu ia idam-idamkan. Sedikit demi sedikit, Mahoni jadi lebih memperhatikan saudara tirinya itu. Namun demikian pula dirinya terhadap Simon. Entah mengapa, ada perasaan yang mengganggu ketika ia melihat hubungan Simon dengan rekan kerjanya, Sofia. Perasaan yang pernah ada di hati Mahoni bertahun-tahun lalu itu pun sepertinya kembali tumbuh.
Permasalahan Mahoni pun tidak berhenti sampai di sana. Ia diperhadapkan dengan sebuah pilihan yang sulit, menyangkut impian yang selalu ia idamkan selama ini. Ia berada dalam posisi sulit yang harus memilih antara tetap menjaga Sigi, atau pergi meraih impiannya. Demikian pula perasaannya terhadap Simon. Saat Mahoni mengetahui bahwa Simon ternyata masih menyimpan kenangan manis mereka 4 tahun yang lalu, Mahoni dilanda ketakutan yang amat sangat; bahwa ia akan menjadi seperti Grace yang menyakiti Mae dengan merebut kekasihnya. Mahoni takut ia akan membuat Sofia terluka dan terpuruk seperti Mae. Lalu apakah yang menjadi keputusan Mahoni?
Mae - Mama Mahoni, yang tak pernah ia panggil Mama lagi - ditinggalkan oleh suaminya semenjak mereka sering bertengkar dan muncul wanita bernama Grace. Semenjak kehadiran Grace, keluarga Mahoni menjadi kacau, terlebih lagi Mae yang selalu terpuruk dalam kesedihan dan meratapi kepahitan hatinya. Apalagi ketika Mahoni mengetahui Ayahnya dan Grace mempunyai seorang anak, yang akan menjadi adik tiri bagi Mahoni; hati Mahoni dipenuhi dengan kekecewaan yang luar biasa. Semua itu sebenarnya sudah menjadi kenangan bagi Mahoni; akan tetapi takdir sepertinya berkata lain saat Mahoni mendapat telepon dari Om-nya, yang mengabarkan bahwa Ayahnya dan Grace meninggal dalam kecelakaan mobil.
Mendengar berita mengejutkan itu, tanpa alasan yang ia ketahui jelas, Mahoni memutuskan untuk pulang kembali ke Jakarta. Setibanya di Jakarta, ia menginjakkan kakinya kembali di rumah Papanya; rumah yang dipenuhi kenangan bersama dengan Ayah yang amat ia sayangi. Memori-memori yang telah Mahoni simpan rapat-rapat kembali muncul permukaan. Dan berita yang mengejutkan baginya tidak berhenti sampai di situ; Mahoni harus berada dalam keadaan terjepit yang sangat tidak ia inginkan. Ia harus tinggal selama dua bulan untuk menjaga adik tirinya: Sigi.
"Damar adalah kayu kesukaan Papa; bukan jati, nyatoh, atau sungkai; bukan pula Mahoni.
Karena itu, saat Papa memberi nama Sigi yang berarti damar kepada anak lelaki Grace, aku cemburu. Ya, kuakui, alasanku membenci Sigi adalah alasan yang kekanak-kanakan. Dan, perasaan itu menetap di dalam diriku selama bertahun-tahun, bersembunyi di balik kemarahan dan kebencian yang sesungguhnya kutujukan kepada Papa dan Grace hingga aku keliru mengenalinya."
"Aku merasa semakin lama aku tinggal di rumah Papa, semakin banyak pula kenangan yang berhasil menyelinap ke luar dari peti usang di lubuk benakku. Kumpulan kenangan itu seperti kartu-kartu domino yang berdiri berdekatan membentuk barisan rapi yang panjang. Ketika kartu yang berada di ujung terjatuh karena sentuhan, yang lain segera mengikuti satu per satu..."
Kepulangan Mahoni ke Jakarta tidak hanya mempertemukannya dengan Sigi; tetapi juga dengan seseorang dari masa lalunya: Simon Marganda. Lelaki itu adalah teman Mahoni semasa kuliah; mereka sama-sama membangun karier dalam dunia arsitek. Pada pertemuan pertama mereka, Simon menawari Mahoni untuk bekerja di studionya; MOSS. Tentu saja Mahoni tidak menolak; selain saat itu ia tidak mempunyai pekerjaan, ia selalu ingin tahu bagaimana rasanya bekerja sama dengan seorang Simon.
Seiring berjalannya waktu, hubungan Mahoni dengan Sigi (adik tirinya yang dulu sama sekali tidak mau ia akui) perlahan-lahan menjadi lebih dekat. Mahoni beberapa kali merasa tersentuh oleh sikap hangat Sigi, dan ia tidak mampu menolak perasaan memiliki keluarga - sesuatu yang selalu ia idam-idamkan. Sedikit demi sedikit, Mahoni jadi lebih memperhatikan saudara tirinya itu. Namun demikian pula dirinya terhadap Simon. Entah mengapa, ada perasaan yang mengganggu ketika ia melihat hubungan Simon dengan rekan kerjanya, Sofia. Perasaan yang pernah ada di hati Mahoni bertahun-tahun lalu itu pun sepertinya kembali tumbuh.
Permasalahan Mahoni pun tidak berhenti sampai di sana. Ia diperhadapkan dengan sebuah pilihan yang sulit, menyangkut impian yang selalu ia idamkan selama ini. Ia berada dalam posisi sulit yang harus memilih antara tetap menjaga Sigi, atau pergi meraih impiannya. Demikian pula perasaannya terhadap Simon. Saat Mahoni mengetahui bahwa Simon ternyata masih menyimpan kenangan manis mereka 4 tahun yang lalu, Mahoni dilanda ketakutan yang amat sangat; bahwa ia akan menjadi seperti Grace yang menyakiti Mae dengan merebut kekasihnya. Mahoni takut ia akan membuat Sofia terluka dan terpuruk seperti Mae. Lalu apakah yang menjadi keputusan Mahoni?
"Yang paling mengesalkan adalah aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk mencegah hal itu terjadi seolah-olah segalanya terencana dan diatur untuk menjebakku. Sejak detik aku menjejakkan kaki di rumah Papa, nasib buruk mencengkeram tengkukku dan aku tidak bisa melepaskan diri."
Baca kisah selengkapnya di Memori.
Ini novel ke-2 karya Windry Ramadhina yang kubaca, setelah sebelumnya membaca Orange. Meskipun cerita dari novel yang pertama itu sudah samar-samar, aku masih ingat bahwa kesan yang kudapat dari buku itu cukup baik. Akan tetapi, aku merasa bahwa Memori memberikan kesan yang lebih mendalam untukku. Cerita ini mengisahkan family drama dengan bumbu-bumbu romance yang untungnya cukup saling berhubungan satu dengan yang lain. Awalnya aku sedikit takut bahwa cerita Mahoni-Sigi dan Mahoni-Simon akan menjadi seperti dua konflik yang terpisah; untungnya ada sebuah benang merah yang terhubung, membuatku lebih puas :)
Secara keseluruhan, aku merasa buku ini mempunyai mood yang tenang, calming, terasa seperti rumah yang hangat. Cara penulisan dan penuturannya benar-benar mencerminkan mood yang seperti itu kalau menurutku secara pribadi. Konflik yang disuguhkan dalam buku ini pun sebenarnya tidak terlalu rumit, oleh karena itu aku mengkategorikan buku ini sebagai bacaan yang cukup ringan. Meskipun kelihatannya alur cerita buku ini dalam dan emosional, aku kurang merasakan excitement dan emosi dari buku ini. Hanya beberapa kali perasaanku tersentuh saat hubungan antara Mahoni dan Sigi perlahan-lahan menjadi lebih baik. Aku rasa itulah salah satu alasan aku menurunkan setengah rating untuk buku ini.
Selain daripada itu, aku menyukai keseluruhan cerita dalam buku ini :) Mood-nya yang calm, konflik yang mengalir dengan baik, penulisan yang puitis dan manis, karakter yang konsisten, penyelesaian masalahnya pun menjadi sebuah penutup yang indah. Looking forward to Windry Ramadhina's next book :))
So, selanjutnya aku menyerahkan tongkat estafet ini kepada temanku, di blognya:Ayo tulis review di blogmu, siapa tau ntar kamu yang menang lho! http://www.bookoopedia.com/id/berita/id-88/lomba-estafet-review-buku.html
aku suka banget buku ini :)
ReplyDeletejadi mau bacaaaa :33
ReplyDeletelike it^^
ReplyDelete